Rabu, 27 April 2011

Makalah Sejarah Islam Indonesia

sejarah islam di indonesia, dinamika islam di indonesia, kemajuan dan kemunduran islam di indonesia, awal mula penyebaran Islam di Indonesia, Sejarah Isam Indonesia, Download makalah sejarah islam di indonesia, download makalah dinamika islam di indonesia, dinamika islam di Asia Tenggara, Dinamika Islam di Philipina, Dinamika Islam di Vietnam, Sejarah Islam Di Asia Tenggara


Awal abad ke-20 merupakan abad kebangkitan bagi dunia Timur. Jepang memperoleh kemenangan atas Rusia pada tahun 1905, dicelah-celah reruntuhan Turki Utsmani tampillah gerakan turki muda. Pada tahun 1911 terciptalah Republik Tiongkok dibawah pimpinan Sun Yat Sen. Disekitar Nusantara ini berkobar pula gerakan-gerakan Nasional, seperti India dan Philipina. Sun Yat Sen memberikan komentar atas kemenangan jepang itu, antara lain: “…Nippon mengalahkan Rusia! Bangsa Eropa tidak senantiasa dijajah? Gemuruh runtuhnya menggema di seluruh Asia.” Pengaruh Turki terhadap Indonesia sejak sedia kala, karena hubungan keagamaan yang intim antara kedua bangsa ini. Revolusi Tiongkok amat berpengaruh terutama terhadap perjalanan Syarikat Islam (SI). Tan Malaka dan Muhamad Yamin terpengaruh dengan gerakan Nasional Philipina; dan gerakan Swadesi di India di terapkan pula di Indonesia. Demikianlah kejadian-kejadian internasional besar pengaruhnya terhadap kebangunan bangsa Indonesia, terbukti pada awal abad ke-20 itu juga bermunculan organisasi-organisasi pergerakan Islam dan Pergerakan lainnya di Indonesia.

Khusus mengenai kebangkitan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 amat dipengaruhi oleh gerakan reformasi keagamaan (Islam) di Timur Tengah dan India. Berangkatlah Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Supanik ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji dan menuntut Ilmu di sana. Sepulangnya dari Mekah ke Minangkabau pada tahun 1803 mereka membawa faham Wahabi, suatu faham yang amat berpengaruh di Saudi Arabia. Untuk menaburkan faham Wahabi ini, mereka membentuk suatu barisan yang bernama “Paderi”, bergerak melawan adat, syirik, khurafat, dan Bid’ah. Untuk memenangkan fahamnya barisan “Paderi” ini bertindak dengan berani dan tegas, Sehingga terjadi peperangan antara barisan Paderi dan kaum Adat, yang akhirnya barisan Paderi berhadapan pula dengan pemerintah kolonial. Selanjutnya pembaharuan yang dipelopori Paderi ini dilanjutkan oleh kaum muda, termasuk Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad, Muhammad Thaib Umar dan kawan-kawannya. Mereka mengorganisir pesantren-pesantren yang sehaluan dan sefaham, kemudian diberi nama “Sumatera Thawalib”, yang pada kongresnya tahun 1930 menjadi Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Jadi paham ini masuk ke Indonesia (minangkabau) sebelum abad ke-20. Sedangkan faham Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani di mesir sampai ke Indonesia melalui mahasiswa-mahasiswa yang belajar di sana dan majalah-majalah yang diterbitkan oleh dua tokoh tersebut yang sampai ke Indonesia melalui pelabuhan-pelabuhan kecil, lepas dari pengawasan duane, seperti majalah Al Urwatul Wutsqa, As Siyasah, Al Liwa’ dan Al Adl edisi Mesir, Tsamratul Funun dan Al_Qis-thasul Mustaqim edisi Bairut dan majalah-majalah lainnya. Ada satu jilid tahunan majalah Al Urwatul Wutsqa yang masuk ke Indonesia melalui Pelabuhan Tuban, sampai ke tangan Kiai Haji Ahmad Dahlan, lalu ia tergerak hatinya untuk mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912. Organisasi ini bergerak melawan feodalisme, syirk, bid’ah dan khurafat seperti barisan Paderi di Minang kabau, namun tidak dengan jalan kekerasan. Muhammadiyah menyebarkan fahamnya melalui pendidikan, dakwah dan sosial, seraya organisasi ini memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang berasal dari bantuan pemerintah kolonial demi kepentingan dakwahnya. Faham Muhammad Abduh dan system gerakannya mengilhami Muhammadiyah, sebagaimana faham Wahabi dan Sistim gerakannya mengilhami barisan Paderi, dan perlu dicatat, bahwa antara Abduh dan Wahabi sama-sama faham salaf, namun Muhammad Abduh menempuh jalan pendidikan untuk menaburkan fahamnya, sedangkan kaum wahabi menempuh jalan kekerasan. Senada dengan gerakan ini juga ialah Al-Irsyad dan Persatuan Islam (PERSIS).

Sedangkan gerakan Islam yang tampil bergerak dalam lapangan social ekonomi dan social politik ialah Syarikat Dagang Islam (SDI) yang lahir pada tahun 1905 di Sala di bawah pimpinan Haji Samanhudi, lalu menjadi Syarikat Islam (SI) di bawah pimpinan Haji Umar Said (HOS) Cokroaminoto dan para cendikiawan muslim lainnya. Mereka memperluas lingkup gerakan SI ke lapangan politik dan pembaharuan pemikiran tentang ajaran-ajaran Islam. Jasa yang paling besar SI terhadap bangsa dan Negera ialah meratakan kesadaran Nasional terhadap seluruh lapisan masyarakat, atas, tengah dan rakyat biasa di seluruh persada tanah airnya, terutama ketika SI mengadakan kongres nasionalnya yang pertama di Bandung pada tahun 1916, yang dihadiri oleh wakil-wakilnya dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Bali. Kongres ini memperoleh perhatian pula dari pemerintah kolonial dan beberapa pers asing. Padahal Budi Utomo pada saat itu masih bergerak dalam lingkup Jawa Madura dan hanya memperoleh partisipan dari golongan bangsawan.
Dicelah-celah gerakan-gerakan Islam yang berdimensi pembaharuan ini juga masih ada organisasi-organisasi Islan yang mempertahankan identitasnya yang tradisionil, seperti Nahdhatul Ulama’ (NU) yang didirikan pada tahun 1926, sebagai reaksi terhadap praktek-praktek pembaharuan yang dilakukan oleh kaum Wahabi di Saudi Arabia, yang pada saat itu Wahabi merupakan faham yang berkuasa di sana. NU ini memperoleh dukungan dari mayoritas umat Islam dan organisasi Islam di Indonesia yang pada umumnya bermadzhab Syafi’i.

Pada prinsipnya antara gerakan Islam yang menerima dan menolak pembaharuan tidaklah memiliki perbedaan yang prinsipil. Sebab mereka sama-sama mengakui bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pegangan pertama dan utama; dan mereka sama-sama bergerak melawan Kolonialisme. Perbedaan yang ada pada mereka ialah perbedaan yang diperbolehkan, karena masih termasuk dalam lingkup Ijtihad.
Yang jelas, organisasi-organisasi Islam ini telah melakukan pesan perjuangan para Syuhada’ kusma bangsa, yang mempertaruhkan harta dan nyawanya demi kecintaan mereka kepada agama dan tanah airnya. Mudah-mudahan generasi masa kini diberi kemampuan melanjutkan pesan perjuangan mereka.

Kesimpulan

Di dalam Bukunya, M. Masyhur Amin menyimpulkan sebagai berikut :
1. Masyarakat kolonial adalah masyarakat yang serba terbelakang dalam semua segi kehidupannya, materiil dan spirituil, akibat penerapan sistem kolonialisme sebagai faktor penentu dan tradisionalisme sebagai faktor pembantu.
2. Kesadaran kebangsaan yang berdasarkan keagamaan (Islam) sebagai antithesis terhadap Kolonialisme adalah sejak kehadiran Kolonialisme ke Nusantara Ini. Sedangkan kebangkitan Islam pada awal abad kedua-puluh ini merupakan estafita terhadap pesan perjuangan para syuhada’ sebelumnya.
3. Perjuangan melawan kolonialisme pada awal mulanya berkobar karena perpaduan dari sentimen keagamaan (Islam) dan rasa cinta tanah air. Setelah pemerintah kolonial berhasil memisahkan penduduk pribumi dari agamanya (Islam), maka perjuangan melawan kolonialisme berdimensi dua, yaitu berdasarkan Nasionalisme Religius (ISLAM) dan Nasionalisme Sekuler.
4. Ciri khas gerakan reformasi As-Sunnah dan tajdid ashri, membuat formulasi-formulasi ajaran-ajaran Islam sesuai dengan kerangka alam pikiran moderen, tanpa mengganggu autentisitas ajaran Islam itu sendiri.

1 komentar: